hadits tentang perpisahan santri
Padaartikel kali ini akan mengulas tentang Hadits tentang tawassul dan tabarruk. Tawassul dan Tabarruk (mencari berkah) sebenarnya sudah ada sejak dahulu, bahkan Nabi Muhammad pun telah mengajarkan bagaimana cara bertawassul. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani - beliau
Dalamliteratur Arab sering disebut dengan al-huqûl al-dilâliyah, al-huqûl al-mu'jamiyah, al-majâl al-dilâliyah dan lain sebagainya.[5] Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan medan makna. Sebagian ahli semantik, seperti Leheur lebih memilih Semantic Field hanyalah sebagai sebuah ittijâh atau muqârabah (Approach) daripada
AlBukhari, Abu Daud dan Nasai). 4. Kandungan Hadits. Bahwasanya sebaik-baik makanan yang dimakan seseorang adalah jika merupakan hasil kerja tangannya sendiri, dan usaha yang paling baik adalah pekerjaan seseorang selagi dengan tangannya sendiri. Baca Juga. Mukmin yang Kuat. Erotesis. Defenisi Jadal Al Qur'an. 5.
PondokPesantren Modern Terpadu (PMT) Prof. Dr. Hamka, Kabupaten Padangpariaman, Sumatera Barat, mengirim 40 santri dan 4 guru pendamping dalam kegiatan pertukaran pelajar ke Negeri Kelantan Malaysia
MenurutGus Husnul, kajian tentang hadits sangat penting dan menjadi hal utama di pesantren yang beralamat di Jalan KH Bisri Syansuri No 87 Desa Denanyar ini. "Di sini, kajian tentang hadits Nabi Saw diperbanyak, agar santri punya pemahaman komprehensif dan benar tentang perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Saw.
nói cách khác tiếng anh là gì. Perpisahan adalah Bagian dari Hidup Hello Readers, perpisahan adalah bagian dari hidup yang tak dapat dihindari. Kita pasti pernah merasakan kehilangan seseorang yang kita sayangi karena harus berpisah. Baik itu karena pindah kota, pindah sekolah, atau bahkan kematian. Namun, dalam Islam, perpisahan bukanlah sesuatu yang hanya menimbulkan kesedihan. Ada banyak hadits yang mengajarkan tentang bagaimana kita seharusnya memandang perpisahan. Hadits tentang Menyimpan Kenangan yang Berharga Salah satu hadits yang mengajarkan tentang perpisahan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Beliau menyampaikan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa yang mengunjungi saudaranya di atas kemauannya, maka Allah akan menciptakan untuknya satu buah taman di surga.” HR. Bukhari dan Muslim.Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mengajarkan tentang pentingnya menjalin silaturahmi dengan saudara-saudara kita. Meskipun suatu saat kita harus berpisah, namun kita seharusnya tetap menjaga hubungan baik dengan mereka. Dengan begitu, kita tidak hanya menyimpan kenangan yang indah bersama mereka di dunia, tetapi juga akan mendapatkan pahala di surga kelak. Hadits tentang Berdoa untuk Mereka yang Telah Pergi Selain itu, Rasulullah SAW juga mengajarkan tentang bagaimana kita seharusnya memandang perpisahan karena kematian. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Doakanlah saudaramu yang telah pergi dengan baik, dan mintalah kebaikan baginya di dalam doa-doa kalian.” Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mengajarkan tentang pentingnya kita berdoa untuk saudara-saudara kita yang telah meninggal dunia. Meskipun mereka sudah pergi, namun kita masih bisa membantu mereka dengan doa. Dengan begitu, kita tidak hanya menyimpan kenangan yang indah bersama mereka, tetapi juga membantu mereka mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Hadits tentang Berusaha untuk Bertemu Kembali Selain mengajarkan tentang pentingnya menyimpan kenangan yang indah bersama saudara-saudara kita, Rasulullah SAW juga mengajarkan tentang bagaimana kita seharusnya memandang perpisahan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah kalian berpisah lama-lama sehingga kalian saling membenci. Namun, jika kalian berpisah sejenak, maka usahakanlah untuk bertemu kembali.”Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mengajarkan tentang pentingnya kita berusaha untuk bertemu kembali dengan saudara-saudara kita yang harus berpisah. Meskipun kita harus berpisah sejenak, namun kita seharusnya tetap berusaha untuk bertemu kembali. Dengan begitu, kita tidak hanya menyimpan kenangan yang indah bersama mereka, tetapi juga memperkuat hubungan kita dengan mereka. Hadits tentang Berusaha untuk Menjalin Hubungan Baik Terakhir, Rasulullah SAW juga mengajarkan tentang bagaimana kita seharusnya memandang perpisahan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika dua orang saling berpisah dengan baik, maka Allah akan memperkuat hubungan keduanya.”Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mengajarkan tentang pentingnya kita menjalin hubungan baik dengan saudara-saudara kita yang harus berpisah. Meskipun kita harus saling berpisah, namun kita seharusnya tetap berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan mereka. Dengan begitu, kita tidak hanya menyimpan kenangan yang indah bersama mereka, tetapi juga memperkuat hubungan kita dengan mereka. Kesimpulan Dalam Islam, perpisahan bukanlah sesuatu yang hanya menimbulkan kesedihan. Ada banyak hadits yang mengajarkan tentang bagaimana kita seharusnya memandang perpisahan. Kita seharusnya tetap menjalin silaturahmi dengan saudara-saudara kita, berdoa untuk mereka yang telah pergi, berusaha untuk bertemu kembali, dan menjalin hubungan baik dengan mereka. Dengan begitu, kita tidak hanya menyimpan kenangan yang indah bersama mereka, tetapi juga mendapatkan pahala di surga kelak. Sampai jumpa kembali di artikel menarik lainnya.
Diriwayatkan dari al-Irbâdh bin Sâriyah radhiallahu'anhu bahwa ia berkata, “Suatu hari Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata, Wahai Rasulullâh! Seolah-olah ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafâ Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bidah, dan setiap bidah itu adalah sesat." Takhrij HadistHadits ini shahîh, diriwayatkan oleh Imam-imam Ahlul Hadits, di antaranya adalah Imam Ahmad dalam Musnadnya 7/126-127, Imam Abu Dâwud no. 4607 dan ini lafazhnya, Imam at-Tirmidzi no. 2676, Imam Ibnu Mâjah no. 42, Imam ad-Dârimi 1/44, Imam Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya no. 5, At-Ta’lîqâtul Hisân dan no. 102, al-Mawârid, Imam al-Hâkim 1/95-96, Imam Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah no. 54-59, Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1/205, no. 102, Imam al-Baihaqi dalam Sunannya 10/114, Imam al-Lâlikâi dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/ 83, no. 81 dan ini dishahîhkan oleh para Imam Ahlul Hadits. Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini hasan shahîh.” Imam al-Bazzâr rahimahullah mengatakan, “Hadits ini tsâbit shahîh.” Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Hadits ini tsâbit.” Imam al-Hâkim rahimahullah mengatakan, “Hadits ini shahîh dan tidak ada cacatnya,” dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah. Hadits ini dishahîhkan juga oleh Imam al-Allâmah al-Muhaddits Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 937 dan 2735 dan dalam Irwâ-ul Ghalîl 8/107-109, no. 2455 Disyariatkannya Memberikan NasihatNabi Salallahu 'Alaihi Wassalam memberikan nasehat kepada para Sahabatnya, kemudian seorang Sahabat mengatakan, "Wahai Rasulullâh! Nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?".Ini menunjukkan bahwa Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam amat serius dalam memberikan nasehat tersebut dan tidak seserius itu pada nasehat yang lainnya. Oleh karena itu, para Sahabat paham bahwa nasehat tersebut adalah nasehat orang yang akan berpisah, karena orang yang akan berpisah dapat mempunyai pengaruh dalam perkataan dan perbuatan yang tidak bisa dikerjakan orang lain. Karenanya, Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam memerintahkan seseorang shalat seperti shalatnya orang yang akan berpisah, ia akan mengerjakannya sesempurna adalah nasehat. Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda yang artinya, “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat. Mereka para Sahabat bertanya Untuk siapa, wahai Rasulullâh?’ Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalammenjawab Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”Nasehat merupakan hak seorang Muslim atas Muslim yang lainnya. Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda yang artinya, “Hak orang Muslim atas Muslim lainnya ada enam. Ditanyakan, “Apa saja keenam hak tersebut, wahai Rasulullâh?” Beliau menjawab, “Jika engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, jika ia mengundangmu maka penuhilahnya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka nasihatilah dia, jika ia bersin kemudian memuji Allah maka doakan dia dengan ucapan yarhamukallâh, jika ia sakit maka jenguklah, dan jika ia meninggal dunia maka antarkan jenazahnya.”Prinsip dalam memberikan nasehat ialah harus ikhlas semata-mata karena Allah Ta'ala dan mengikuti contoh Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, bukan dengan membuka aib orang yang dinasehati. Sebab, orang yang aibnya dibuka tidak akan mau menerima nasehat. Begitu juga dengan menuduh orang lain. Orang yang dituduh, akan sulit baginya untuk menerima nasehat karena menuduh tidaklah sama dengan memberi nasehat. Sebaliknya juga orang yang diberikan nasehat jangan menuduh orang yang memberikan nasehat dengan tuduhan yang jelek. Keutamaan Salafush ShalihPerkataan al-Irbâdh bin Sâriyah radhiallahu'anhu, “Lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut...” Di dalamnya terdapat isyarat tentang baiknya keadaan para Sahabat, bersihnya jiwa-jiwa mereka, dan selamatnya hati-hati mereka. Mereka mengambil pelajaran dari sabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, merasa takut tatkala mendengar firman Allah Ta'ala , dan ini merupakan tanda keimanan dan kebaikan. Menangis dan rasa takut hati ketika mendengar peringatan dari firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya adalah dua sifat kaum Mukminin yang dipuji oleh Allah Ta'ala . Seperti firman Allah Ta'ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut Nama Allah gemetar takutlah hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah kuat imannya dan hanya kepada Rabb mereka bertawakkal.” Qs al-Anfâl/82 Sesungguhnya orang yang menangis karena takut kepada Allah Ta'ala , matanya itu tidak akan disentuh api neraka. Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api Neraka, mata yang menangis karena takut kepada Allah Ta'ala dan mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah Ta' dari dua mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah Ta'ala ialah ketika berjuang di jalan Allah Ta'ala melawan musuh, ia senantiasa berjaga-jaga di perbatasan karena khawatir kaum Muslimin diserang oleh musuh. Oleh karena itu, wajib mencintai para Sahabat radhiallahu'anhum, memuliakan mereka, memohonkan ampunan dan keridhaan Allah Ta'ala untuk mereka, dan mengikuti contoh teladan mereka. Mereka adalah pendahulu umat ini yang telah menyampaikan al-Qurân dan Sunnah Nabi-Nya kepada kita. Para Ulama menjelaskan bahwa siapapun tidak boleh mencela dan mencaci-maki para Sahabat radhiallahu'anhum karena baiknya hati mereka. Abdullâh bin Mas’ûd radhiallahu'anhu mengatakan tentang para Sahabat Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil teladan, hendaklah mengambil teladan dari para Sahabat Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam. Karena sesungguhnya mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah Ta'ala telah pilih untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya karena mereka berada di atas jalan yang Salafush Shalih memiliki sekian banyak keutamaan, maka kewajiban kita adalah mencintai, menghormati dan mengikuti jejak mereka, serta memohonkan ampunan, rahmat, dan keridhaan Allah Ta'ala untuk mereka. Maka dianjurkan untuk mengucapkan radhiyallâhu anhum ketika kita menyebut para Sahabat, sebagai realisasi dari firman Allah Ta'ala yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” Qs at-Taubah/9100 Tidak boleh ada seorang pun yang mencela dan menjelekkan para Sahabat. Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, Janganlah kalian mencaci para Sahabatku! Demi Dzat Yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh, jika seandainya salah seorang dari kalian berinfak sebesar Gunung Uhud berupa emas, maka belum mencapai nilai infak mereka meskipun mereka infak hanya satu mud yaitu sepenuh dua telapak tangan dan tidak juga itulah Imam Abu Zur’ah ar-Râzi rahimahullah wafat th. 264 H berkata, “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang dari Sahabat Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam maka ketahuilah bahwa ia adalah zindiq munafik. Karena sesungguhnya Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam itu benar, sesungguhnya al-Qur`ân itu benar, dan yang menyampaikan al-Qur`ân kepada kita adalah mereka, para Sahabat Rasulullâh. Dan orang-orang yang mencela itu hendak merusak persaksian kita demi membatalkan al-Qur`ân dan Sunnah. Maka celaan itu hanyalah pantas untuk mereka. Mereka adalah orang-orang zindiq.”Kaum Muslimin dianjurkan untuk mendoakan para Sahabat dengan doa yang terdapat di dalam al-Qurân yang artinya, “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” Qs al-Hasyr/5910 Bertakwalah Kepada Allah Ta'alaSabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, "Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah…" Wasiat takwa adalah wasiat yang paling mulia, wasiat yang menjamin kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi orang yang berpegang teguh kepadanya. Dan wasiat takwa merupakan wasiat Allah Ta'ala kepada manusia generasi pertama dan akhir, sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya, “Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang yang telah diberikan kitab suci sebelum kamu dan juga kepadamu agar bertakwa kepada Allah. Tetapi jika kamu ingkar, maka ketahuilah milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” Qs an-Nisâ’/431 Takwa yang dimaksud menurut penjelasan para Ulama bukan sekedar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, namun harus dirinci lagi. Perintah paling besar dalam syari’at adalah mentauhidkan Allahk dan larangan yang terbesar adalah menjauhkan bin Habîb rahimahullah mengatakan, “Takwa ialah engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta'ala dengan cahaya dari Allah Ta'ala karena mengharap ganjaran dari Allah Ta'ala , dan engkau meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah Ta'ala dengan cahaya dari Allah Ta'ala karena takut terhadap adzab Allah Ta'ala .Di antara pesan Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam kepada kita semua ialah agar selalu bertakwa dimana pun kita berada. Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda yang artinya, “Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya ia akan menghapuskannya serta bergaullah bersama manusia dengan akhlak yang baik. Mendengar Dan Taat Kepada Ulil Amri Penguasa Kaum MusliminSabda Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam, "...Mendengar dan taat..." Maksudnya, mendengar dan taat kepada ulil amri penguasa kaum Muslimin. Mendengar apabila mereka berbicara dan menaati apabila mereka memerintahkan surat an-Nisâ ayat 59, Allah Ta'ala berwasiat kepada kaum Muslimin agar mereka menaati Allah Ta'ala , Rasul-Nya, dan ulil amri dari kalangan kaum Muslimin yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah al-Qur`ân dan Rasul Sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” Qs an-Nisâ’/459 Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Tidak boleh taat terhadap perintah yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan." Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajib taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat, meskipun mereka berbuat zhalim. Karena menaati mereka termasuk dalam ketaatan kepada Allah Ta'ala, sedangkan ketaatan kepada Allah Ta'ala adalah Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat kepada penguasa pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci, kecuali kalau ia disuruh untuk berbuat maksiat, jika ia disuruh untuk berbuat maksiyat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat." Imam al-Qâdhi Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil-Izz ad-Dimasyqi rahimahullah yang terkenal dengan Ibnu Abil Izz wafat th. 792 H berkata, “Hukum menaati ulil amri adalah wajib selama tidak dalam kemaksiatan meskipun mereka berbuat zhalim, karena keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipat-gandakan pahala. Karena Allah Ta'ala tidak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguhsungguh memohon ampunan, bertaubat, dan memperbaiki amal perbuatan. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahankesalahan.” Qs asy-Syûrâ/4230 Allah Ta'ala juga berfirman yang artinya, “Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” Qs al-An’âm/6129Apabila rakyat ingin selamat dari kezhaliman pemimpin mereka, hendaklah mereka meninggalkan kezhaliman itu juga.”Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Penjelasan di atas sebagai jalan selamat dari kezhaliman para penguasa yang warna kulit mereka sama dengan kulit kita, berbicara sama dengan bahasa kita bahasa Arab’ karena itu agar umat Islam selamat Hendaklah kaum Muslimin bertaubat kepada Allah Ta'ala. Hendaknya mereka memperbaiki akidah mereka. Hendaklah mereka mendidik diri dan keluarganya di atas Islam yang benar sebagai penerapan firman Allah Ta'ala yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.” Qs ar-Ra’d/1311 Untuk menghindarkan diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara mengikuti sangkaan sebagian orang yaitu dengan memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk bid’ah dan menyalahi nash-nash syariat yang memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu. Karena itu harus ada perbaikan kaidah dalam pembinaan, dan pasti Allah Ta'ala menolong hamba-Nya. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Allah pasti akan menolong orang yang menolong agama-Nya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Kuat, Maha Perkasa.” Qs al-Hajj/2240Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta'ala dalam keputusan-Nya menjadikan para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia berada satu jenis dengan amal perbuatan mereka, bahkan amal perbuatan mereka seakan-akan tampak tercermin pada pemimpin dan penguasa mereka. Jika mereka lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka, dan jika mereka adil, maka akan adil pula penguasa mereka terhadap mereka, tetapi jika mereka zhalim, maka akan zhalim pula penguasa dan pemimpin mereka. Jika tampak tipu muslihat dan penipuan di tengah-tengah mereka, maka demikian pula yang terjadi pada pemimpin mereka. Dan jika menolak hak-hak Allah Ta'ala atas mereka dan enggan memenuhinya, maka para penguasa dan pemimpin mereka pun akan menolak hak-hak yang ada pada mereka dan kikir untuk menerapkannya pada mereka. Dan jika dalam muamalah mereka mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang-orang lemah, maka para penguasa pun akan mengambil hal-hal yang bukan haknya serta menimpakan berbagai beban dan tugas kepada yang mereka keluarkan yang mereka ambil dari orang-orang lemah, maka akan dikeluarkan diambil pula oleh para penguasa itu dari diri mereka dengan kekuatan paksaan. Dengan demikian amal perbuatan mereka tercermin pada amal perbuatan penguasa dan pemimpin mereka. Dan menurut hikmah Ilâhiyyah, tidaklah diangkat seorang pemimpin atas orang-orang jahat lagi berbuat keji, kecuali orang-orang yang sejenis dengan mereka. Ketika pada kurun-kurun pertama merupakan kurun yang paling baik, maka demikian itu pula para pemimpin mereka. Dan ketika mereka mulai tercemari, maka pemimpin mereka pun mulai tercemari demikian, hikmah Allah Ta'ala menolak jika kita di zaman ini dipimpin oleh orang-orang seperti Mu’awiyah dan Umar bin Abdul Aziz, apalagi orang-orang seperti Abu Bakar dan Umar, tetapi pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Dan pemimpin orang-orang sebelum kita pun sesuai dengan kondisi mereka. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntutan hikmah Allah Ta'ala .”Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thâlib radhiallahu'anhu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah, sedangkan pada zaman Abu Bakar dan Umar tidak?” Ali radhiallahu'anhu menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyatnya adalah aku dan Sahabat yang lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian.”Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum Muslimin agar menjadi baik, Allah Ta'ala memerintahkan agar kita mengubah diri kita sendiri terlebih dulu, bukan mengubah penguasa yang ada. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Qs ar-Ra’d/1311Kita harus memperhatikan kewajiban mendengar dan taat kepada ulil amri. Bila tidak, maka akan terjadi kehinaan, kekacauan, pertumpahan darah, kaum Muslimin menjadi korban, dan lain sebagainya. Sedangkan darah kaum Muslimin itu lebih mulia dari pada Ka’bah yang mulia dan lebih berat di sisi Allah Ta'ala dari pada hancurnya Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Hancurnya dunia ini lebih ringan dosanya di sisi Allah dari pada terbunuhnya seorang Muslim." Terjadinya Perpecahan Dan Perselisihan Di Tengah Kaum MusliminSabda Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam, "Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak." Sesungguhnya perpecahan dan perselisihan dalam Islam itu tercela. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang berat." Qs Ali Imrân/3105 Allah Ta'ala berfirman yang artinya Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi terpecah dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu Muhammad atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka terserah atas Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. Qs al-An’âm/6159 Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa agama Islam memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu serta melarang perpecahan dan perselisihan dalam prinsip agama, bahkan dalam setiap permasalahan agama, baik yang pokok maupun cabangnya.”Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang Ahlul Kitab sebelum kalian telah berpecah-belah menjadi 72 golongan. Sesungguhnya umat Islam akan berpecah-belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di neraka dan hanya satu golongan di Surga, yaitu al-Jama’âh." Dalam riwayat lain disebutkan "Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu yaitu yang aku dan para Sahabatku berjalan di atasnya." Jalan Selamat Dari Perpecahan Dan Perselisihan Jalan selamat dari perpecahan dan perselisihan adalah dengan berpegang teguh kepada al-qur-an dan as-sunnah menurut pemahaman salafush shalih. Sabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, "Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâur Râsyidin yang mendapat petunjuk." Sabda beliau Salallahu 'Alaihi Wassalam di atas terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin sepeninggal beliau. Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan perbuatan Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam dan para Khulafâur Râsyidin. Itulah Sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi Salaf dahulu tidak menamakan Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari al-Hasan, al-Auzâ’i, dan Fudhail bin Khalifah tersebut disebut Râsyidîn karena mereka mengetahui kebenaran dan memutuskan segala perkara dengan kebenaran. Râsyîd adalah lawan kata dari ghâwi. Ghâwi ialah orang yang mengetahui kebenaran, namun mengamalkan kebalikannya. Sedangkan kata Mahdiyyîn maksudnya adalah Allah Ta'ala membimbing mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka darinya. Jadi, manusia terbagi menjadi tiga râsyid, ghâwi, dan ialah orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Dhâll ialah orang yang tidak mengetahui kebenaran secara total. Jadi, seluruh orang râsyid itu ialah orang yang mendapatkan petunjuk, dan orang yang diberi petunjuk dengan petunjuk paripurna ialah orang yang râsyid mendapatkan petunjuk, karena petunjuk hanya sempurna dengan mengetahui kebenaran dan Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam untuk mengikuti Sunnah beliau dan Sunnah Khulafâ Râsyidin setelah perintah mendengar dan taat kepada ulil amri adalah bukti bahwa Sunnah para Khulafâur Râsyidin harus diikuti seperti halnya mengikuti Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam . Ini tidak berlaku bagi Sunnah para pemimpin selain Khulafâ menunjukkan bahwa kita wajib berpegang kepada al-Qurân dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Selain itu, kita diwajibkan mengikuti manhaj para Salafush Shalih karena Allah Ta'ala menyebutkan dalam al-Qurân tentang wajibnya kita mengikuti mereka. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Maka jika mereka beriman sebagaimana kamu telah beriman, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka beradadalam permusuhan dengan kamu. Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dialah yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” Qs al-Baqarah/2137 Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa menentang Rasul Muhammad setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali. Qs an-Nisâ’/4115 Kita berpegang dengan pemahaman Salaf, mengikuti jejak Salafus Shalih, dengan tujuan ingin selamat dunia akhirat dan ingin masuk Surga, bukan untuk mencari kedudukan, harta, dan ketenaran. Kita mengikuti jejak mereka supaya selamat di dunia dan di akhirat dan agar Allah Ta'ala memasukkan kita ke dalam Surga-Nya, bukan untuk memperoleh kesenangan dunia, harta, jabatan, maupun wajib mengikuti jejak Salafush Shalih karena mereka adalah khairun nâs sebaik-baik manusia, dan khairu hâdzhihil ummah dan sebaik-baik umat ini.Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini yaitu masa para Sahabat, kemudian yang sesudahnya masa Tâbi’in, kemudian yang sesudahnya masa Tâbi’utTâbi’în." Mengenai berpegang kepada al-Qurân dan Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih ini, Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam bukan hanya menyuruh berpegang saja. Tetapi menyuruh kita agar memegangnya dengan sangat kuat dan erat sehingga beliau mengungkapkannya melalui sabda beliau, "Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian." Sabda beliau merupakan kiasan tentang kuatnya berpegang teguh kepada Sunnah. Hal itu karena sudah begitu banyaknya fitnah dan syubhat yang ada. Kadang-kadang ada orang berpegang pada manhaj Salaf lalu keluar dari manhaj Salaf karena banyaknya fitnah, syubhat, dan syahwat. Fitnah terbagi menjadi dua fitnah syahwat dan syubhat. Fitnah syubhat ialah fitnah yang terkait dengan pemahaman, aliran, kelompok, firqah, keyakinan, dan lainnya. Sedangkan fitnah syahwat ialah yang berkenaan dengan harta, wanita, jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan lain Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam telah menggabungkan Sunnah Sahabatnya dengan Sunnahnya, dan memerintahkan untuk mengikutinya seperti memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya, sampai-sampai beliau memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini meliputi apa yang mereka fatwakan dan apa yang mereka contohkan walaupun sebelumnya Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam tidak ini juga meliputi apa yang mereka fatwakan secara keseluruhan atau sebagian besar dari mereka atau sebagian mereka saja karena Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam mengaitkannya dengan apa yang disunnahkan dicontohkan oleh Khulafâ Râsyidin. Dan sudah dimaklumi, jika mereka mencontohkan hal itu pada saat yang bersamaan, maka bisa diketahui bahwa Sunnah tiap orang dari mereka Sahabat pada masa beliau Salallahu 'Alaihi Wassalam adalah termasuk Sunnah Khulafâur Râsyidin.”Hadits ini sebagai pukulan keras yang menghujam di kepala para ahlul bid’ah yang menyelisihi manhaj Salaf, karena hal ini ditunjukkan oleh beberapa halPertama Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam menggabungkan Sunnah Khulafâur Râsyidin, yaitu pemahaman Salaf, dengan Sunnah beliau. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipahami kecuali dengan manhaj Beliau Salallahu 'Alaihi Wassalam menjadikan Sunnah Khulafâur Râsyidin sebagai Sunnah beliau, beliau mengatakan, “Gigitlah ia dengan gigi geraham.” Dan tidak mengatakan, “Gigitlah keduanya dengan gigi geraham.” Dengan demikian jelaslah bahwa Sunnah Khulafâ`ur Râsyidin termasuk Sunnah beliau Salallahu 'Alaihi Beliau menghadapkan menjadikan berlawanan semua itu dengan peringatan terhadap bid’ah, maka hal ini menunjukkan setiap yang menyelisihi manhaj Salaf berarti ia terjerumus dalam bid’ah tanpa ia Beliau menjadikan hal itu manhaj Salaf sebagai solusi dari perselisihan dan kebid’ahan, barangsiapa yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin maka ia termasuk dalam golongan yang selamat kelak di hari Beliau tidak menjadikan Sunnahnya dan Sunnah Khulafâ Râsyidin dalam perselisihan yang banyak itu. Hal ini menunjukkan bahwa semuanya itu berasal dari Allah Ta'ala , karena terjadinya perselisihan yang banyak tidak mungkin dari Allah Ta'ala, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Sekiranya al-Qur`ân itu bukan dari Allah, pasti mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” Qs an-Nisâ’/482 Dari poin-poin yang berkaitan ini maka jelaslah bahwa jalan keselamatan dari perselisihan dan perpecahan serta jalan untuk melindungi kehidupan dari kesesatan hawa nafsu dan rusaknya syubhat dan syahwat adalah dengan memahami Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam dengan pemahaman mereka. Karena mereka telah mendapat bagian melimpah dari Sunnah tersebut, mereka berhasil menempati posisi terdepan dan memimpin masa, sehingga tidak menyisakan kesempatan bagi generasi setelahnya untuk menyusul dan menyamai mereka karena mereka berhenti di atas petunjuk, telah dicukupkan dengan ilmu, dan dengan ketajaman pandangan mereka melihat Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam menjadi sesuatu yang paling agung di hati mereka, paling hebat dalam jiwa Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam mengajak mereka pada suatu perintah, secepatnya mereka segera memenuhinya baik beramai-ramai maupun sendiri-sendiri. Mereka segera membawa jiwa raganya untuk melaksanakan perintah tersebut tanpa perlu bertanya tentang dalil atau karena itu, mereka adalah orang yang paling berhak terhadap Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam dan Sunnahnya, baik dalam pemahaman, pengamalan, maupun dakwah. Dan yang wajib bagi orang setelah mereka adalah berpegang teguh kepada manhaj mereka, agar bisa bersambung dengan Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam dan agama Allah Ta'ala . Jika tidak, maka ia bagaikan pohon buruk yang tercabut dari dalam tanah dan ia tidak memiliki Salallahu 'Alaihi Wassalam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan perselisihan pada umatnya, kemudian Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam memberikan jalan keluar agar selamat dunia dan akhirat yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para Sahabat. Hal ini menunjukkan wajibnya mengikuti Sunnahnya Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam dan Sunnah para Sahabatnya radhiallahu'anhum. Jauhilah Perbuatan Bid’ah!Sabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, "Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bidah." Yang dimaksud di sini adalah perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama, bukan dalam urusan dunia. Sebab, perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan dunia ada yang bermanfaat dan itu merupakan kebaikan dan ada pula yang berbahaya dan itu merupakan keburukan. Sedangkan perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah buruk. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Qs al-Mâ`idah/53 Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Tidak tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka, kecuali telah dijelaskan semuanya kepada kalian." Dalam hadits di atas disebutkan, “Setiap perkara yang baru adalah bid’ah” maka apakah yang dimaksud dengan bid’ah? Definisi Bid’ahImam asy-Syâthibi rahimahullah wafat th. 790 H mengatakan, "Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta'ala." Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab, bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’ “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada “untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta'ala“, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab, demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah, yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah Ta'ala hanya untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya,“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Qs adz-Dzâriyât/5156Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah wafat th. 795 H mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang menunjukkan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’ adalah ucapan Umar bin al-Khaththâb radhiallahu'anhu ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan shalat Tarawih dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau radhiallahu'anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka, beliau radhiallahu'anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.”Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam yang artinya,“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”Juga sabda beliau Salallahu 'Alaihi Wassalam yang artinya,“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak".Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu Salallahu 'Alaihi Wassalam juga bersabda,"Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari atas perintah kami maka amalannya tertolak".Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam sendiri yang mengatakan amalan bid’ah itu tertolak karena tidak terpenuhinya salah satu syarat dari dua syarat diterimanya ibadah, yaitu mutâba’ah mengikuti contoh Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam. Syarat diterimanya ibadah ada dua pertama, niat ikhlas karena Allah Ta'ala dan kedua, sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan Kitab-Nya atau yang dijelaskan Rasul-Nya dan salah satunya tidak dipenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya yang artinya "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya".Qs al-Kahfi/18110 Dalam ayat ini, Allah Ta'ala memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, kemudian memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah Ta'ala semata, tidak menghendaki Ibnu Katsîr rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Inilah dua landasan amalan yang diterima Pertama, ikhlas karena Allah Ta'ala dan Kedua, sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam.”Menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah kepada umat tidaklah termasuk memecah-belah persatuan kaum Muslimin, bahkan menjelaskan bahaya bid’ah dan membantah ahlul bid’ah termasuk dalam kategori jihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,“Orang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, sampai Yahya bin Yahya berkata, Membela Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam lebih utama daripada jihad fî sabîlillâh.’” Setiap Bid’ah Adalah SesatSabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, "Dan setiap bid’ah adalah sesat" Sabda beliau di atas termasuk dari jawâmi’ul kalim beliau di mana tidak ada sesuatu pun yang keluar darinya, dan merupakan kaidah agung dalam prinsip-prinsip agama. Sabda beliau tersebut mirip dengan sabda beliau, Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia siapa saja yang mengada-adakan perkara-perkara baru dan menisbatkannya kepada agama padahal tidak memiliki landasan hukum di agama, maka itu merupakan kesesatan dan agama berlepas diri darinya, baik dalam masalah keyakinan, perbuatan, atau perkataan yang tampak maupun perkataan yang Mâlik bin Anas radhiallahu'anhu mengatakan"Barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam yang ia pandang hal itu baik bid’ah hasanah, maka sungguh dia telah menuduh Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wassalam mengkhianati risalah agama ini. Karena sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu...” Qs al-Mâ`idah/53 Maka, sesuatu yang pada hari itu pada masa beliau masih hidup bukanlah ajaran agama, maka hari ini pun sesuatu itu bukanlah ajaran agama."Maksud dari kullu bid'ah adalah semua bid’ah. Tidak ada kata kullu bid'ah yang bermakna sebagian bid’ah. Apakah Sebagian sesat dan sebagian tidak??!!.Apabila kita bawakan hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasâi, dari Sahabat Jâbir radhiallahu'anhu"Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."Maka akankah mereka mengatakan bahwa ada kesesatan yang tempatnya di Surga?? Semua kesesatan tempatnya adalah Neraka. Kullu dhalâlah fin naar, artinya setiap kesesatan tempatnya di Neraka. Kullu bid’atin dhalâlah, artinya setiap bidah adalah sesat. Sama-sama menggunakan kata kullu. Ada sebagian orang yang memahami kata kullu dalam “kullu bid'atin dhalâlah" itu sebagian bid’ah, tetapi ketika mereka mengartikan “kullu dhalâlatin finnâr” tidak diartikan sebagian kesesatan tempatnya di Neraka, tetapi semua kesesatan tempatnya di Neraka. Inilah cara berfikir mereka yang kontradiksi. Sabda Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam juga difahami Sahabat demikian, yaitu semua perbuatan bid’ah dalam agama adalah sesat. Abdullâh bin Mas’ûd radhiallahu'anhu berkata,"Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi dengan Islam ini, dan setiap bid’ah adalah sesat.Abdullâh bin Umar radhiallahu'anhu berkata,"Setiap bid’ah itu sesat, meskipun manusia memandang baik."Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Khalaf al-Barbahâri rahimahullah beliau adalah Imam Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah pada zamannya, wafat th. 329 H berkata “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apa pun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada umat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullah wafat th. 161 H berkata,"Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada kemaksiatan. Pelaku kemaksiatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya."Di antara contoh bid’ah yang dianggap baik oleh manusia antara lain Bid’ah Khawârij, yaitu memberontak kepada penguasa kaum Muslimin yang zhalim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Bid’ah Syi’ah, yaitu meyakini bahwa mushaf kaum Muslimin adalah kurang dan yang benar adalah mushaf yang ada pada mereka yang disebut dengan mushaf Fathimah, nikah mut’ah kawin kontrak, mengkafirkan para Sahabat, dan lainnya. Bid’ah Jahmiyah, yaitu mengingkari sifat-sifat Allah Ta'ala, mengatakan bahwa al-Qurân adalah makhluk, meyakini bahwa Allah Ta'ala ada di mana-mana, danlain-lain. Bid’ah Murji’ah, yaitu mereka berpendapat bahwa amal tidak masuk dalam iman, iman tidak bertambah dan berkurang, dan lain-lain. Bid’ah Mu’tazilah, yaitu mereka mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada di satu kedudukan di antara dua kedudukan yakni tidak Muslim tidak juga kafir, dan lain-lain. Bid’ah kaum Shufi dan para penyembah kubur, yaitu tawasul dengan kuburan dan orang shalih yang telah meninggal dunia, dzikir berjama’ah, dan lain-lain. Merayakan maulid hari kelahiran Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wassalam. Merayakan Isrâ’ Mi’râj. Merayakan tahun baru Hijriyyah. Tahlilan dan mengirimkan pahala bacaan al-Qurân kepada orang yang sudah mati. Shalat Nishfu Sya’ban. Dan bid’ah-bid’ah lainnya yang sangat banyak. Setiap Kesesatan Tempatnya Di Neraka Dalam riwayat an-Nasâi dari Jâbir bin Abdillâh radhiallahu'anhu, Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam bersabda, "Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka." Yang harus diperhatikan mengenai hadits ini bahwa kita tidak boleh memastikan orang yang berbuat bid’ah dan maksiat itu tempatnya di Neraka. Kita tidak punya hak sama sekali. Sebagaimana kita juga tidak boleh memastikan orang yang berbuat ketaatan kepada Allah Ta'ala, tempatnya di Surga. Kecuali orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Salallahu 'Alaihi beliau di atas merupakan ancaman yang terdapat di dalam banyak hadits dan ayat al-Qurân sebagaimana yang disebutkan oleh para Ulama. Artinya orang yang melakukan perbuatan bid’ah diancam masuk Neraka. Adapun memastikan dia masuk Neraka, maka tidak boleh dilakukan dan sangat berbahaya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Seseorang yang berilmu terkadang menyebutkan ancaman terhadap sesuatu yang dipandangnya sebagai perbuatan dosa, padahal dia mengetahui bahwa orang yang menakwilnya diampuni dan tidak terkena ancaman. Tetapi dia menyebutkan hal itu untuk menjelaskan bahwa perbuatan dosa mengakibatkan mendapatkan siksa. Dia hanya mengingatkan untuk menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandangnya sebagai dosa.”Beliau rahimahullah juga berkata, “Karena nash-nash ancaman bentuknya umum, maka kita tidak menyatakan dengannya kepada orang tertentu bahwa dia termasuk penghuni Neraka. Sebab memungkinkan tidak berlakunya hukum yang ditetapkan pada orang yang melakukannya karena adanya penghalang yang kuat seperti taubat, atau kebaikan-kebaikan yang menghapuskan keburukan, atau musibah-musibah yang menghapuskan dosa, atau syafa’at yang diterima, dan lain-lain.”Maka sabda Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam, “Setiap kesesatan tempatnya di Neraka,” adalah sifat bagi amal yang dilakukan seseorang dan sifat bagi buah amal yang dilakukannya, jika tidak disusuli dengan taubat dan sabda beliau Salallahu 'Alaihi Wassalam, “...di Neraka.” Tidak mengharuskan kekal di dalam Neraka atau berada lama di dalamnya. Tetapi seseorang masuk Neraka sesuai maksiat yang dilakukannya, baik bentuknya bid’ah maupun hal ini, berlaku hukum lain, yaitu menghalalkan sesuatu yang diharamkan agama. Barangsiapa menghalalkan suatu bid’ah atau selainnya dari perbuatan maksiat dengan menghalalkan dalam hatinya padahal dia mengetahui dan mengakui bahwa sesuatu yang dilakukan tidak memiliki dasar dalam Sunnah, bahkan dia mengetahui bahwa tindakannya itu merupakan bentuk “mengoreksi” syariat maka ketika itu ia berada di dalam Neraka karena dia ath-Thahawi rahimahullah dalam kitab akidahnya hlm. 316-disertai syarah Ibnu Abil Izz mengatakan, “Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat kaum Muslimin karena perbuatan dosa selama ia tidak menghalalkannya.”Dan tidak diragukan lagi bahwa bid’ah adalah dosa yang sangat jelas dan maksiat yang sangat nyata. Dan dalil-dalil yang mengecamnya dan memerintahkan untuk menjauhinya sangat banyak sekali. Fawaa-Id Pelajaran Dari Hadits Ini Disyari’atkan memberikan nasehat. Akan tetapi, hendaknya dilakukan pada tempatnya dan jangan terlalu sering agar tidak membosankan. Nasehat atau wasiat perpisahan biasanya menyentuh hati. Nasehat Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam semuanya bermanfaat dan menyentuh hati para Sahabat. Boleh bagi seseorang untuk meminta nasehat dari orang alim Ulama, dan dalam hal ini apabila ada sebabnya, yakni seseorang membutuhkan nasehat. Wasiat yang paling baik adalah wasiat takwa kepada Allah Ta'ala . Seseorang akan mencapai takwa kepada Allah Ta'ala apabila ia menuntut ilmu syar’i, mengamalkannya, dan mentauhidkan Allah Ta'ala dan menjauhkan syirik. Takwa adalah melaksanakan perintah Allah Ta'ala dan menjauhkan larangan-Nya. Perintah yang paling besar adalah mentauhidkan Allah Ta'ala dan larangan yang terbesar adalah syirik. Takwa mempunyai keutamaan yang sangat banyak. Wajib mendengar dan taat kepada ulil amri penguasa dari kaum Muslimin dalam hal yang ma’ruf. Tidak boleh taat kepada ulil amri dalam hal maksiat. Perintah taat kepada ulil amri meskipun dia seorang hamba sahaya budak, menunjukkan pentingnya taat kepada ulil amri. Di antara mukjizat Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam , beliau mengabarkan akan terjadinya perpecahan dan perselisihan di tengah-tengah kaum Muslimin. Jalan selamat dari perpecahan dan perselisihan adalah berpegang kepada al-Qurân dan Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam serta memahaminya sebagaimana yang difahami oleh para Sahabat radhiallahu'anhum . Keutamaan Khulâfaur Râsyidin. Keutamaan para Sahabat radhiallahu'anhum, karena mereka adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Baiknya hati para Sahabat radhiallahu'anhum, karena mereka takut kepada Allah Ta'ala . Wajib atas setiap Muslim mempelajari Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam. Kita wajib mengikuti Sunnah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin serta berpegang teguh dengan keduanya. Kita wajib waspada dan hati-hati kepada setiap perkara yang baru yang tidak ada asalnya dari Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam. Setiap perkara yang baru yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah. Semua bid’ah adalah sesat, tidak ada bid’ah hasanah dalam Islam dan tidak ada juga pembagian bid’ah menjadi lima hasanah, mubah, makruh, haram, dan wajib. Yang mengatakan semua bid’ah sesat adalah Rasulullâh Salallahu 'Alaihi Wassalam. Beliau adalah orang yang paling tahu tentang Islam, paling fasih berbahasa Arab, dan paling jujur. Semua kesesatan tempatnya di Neraka. Menjelaskan tentang bahaya bid’ah kepada umat tidak termasuk memecah belah kaum Muslimin, namun termasuk dalam kategori amar ma’ruf nahi munkar. Tidak boleh memastikan para pelaku bid’ah dengan masuk Neraka karena kita tidak tahu akhir kehidupannya. Bisa jadi ia bertaubat dari perbuatan bid’ahnya tersebut. Bid’ah merusak hati, akal, dan agama. Wallâhu a’lam. Majalah As-Sunnah Edisi 10/Thn. XIII/Muharram 1431H/Januari 2010M
Khutbah Jumat NU Online Jatim kali ini mengangkat tema tentang hikmah dari pertemuan dan perpisahan. Pada momentum khutbah ini adalah saat penting untuk saling mengingatkan umat Islam agar bisa lebih bertakwa dan menjadi insan kamil. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silahkan klik ikon print berwarna merah di bawah artikel ini. Berikut contoh teks khutbah Jumat tentang menjaga lidah berjudul "Jadikan Pertemuan dan Perpisahan Karena Allah SWT". Semoga bermanfaat! Redaksi Khutbah I الحمد لله الحمد لله الذي هدانا سبل السلام، وأفهمنا بشريعة النبي الكريم، أشهد أن لا اله إلا الله وحده لا شريك له، ذو الجلال والإكرام، وأشهد أن سيدنا ونبينا محمدا عبده و رسوله، اللهم صل و سلم وبارك على سيدنا محمد وعلى اله وأصحابه والتابعين بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد فيايها الإخوان، أوصيكم و نفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون، قال الله تعالى في القران الكريم أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم يايها الذين امنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا، يصلح لكم أعمالكم ويغفرلكم ذنوبكم، ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما. وقال تعالى يايها الذين امنوا اتقوا الله حق تقاته ولاتموتن الا وأنتم مسلمون، صدق الله العظيم. Sidang Jumat Rahimakumullah Bahagia tiada tara harus kita terus dengungkan karena siang ini masih diberikan kesempatan berkumpul di tempat istimewa yakni masjid. Dalam sepekan setidaknya diingatkan untuk menyempatkan bertemu dan bertutur sapa dengan sesama muslim di sekitar kita. Karenanya, manfaatkan waktu berharga ini dengan benar dan baik. Demikian pula di kesempatan berharga ini saya mengajak kepada diri sendiri dan jamaah yang ada untuk terus meningkatkan takwallah yakni menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hadirin yang Berbahagia Rasulullah SAW bersabda bahwa kelak pada hari kiamat Allah SWT akan memberikan perlindungan kepada tujuh golongan orang. Salah satu di antaranya adalah dua orang yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah sebagaimana penggalan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abi Hurairah RA berikut ini وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ Artinya Dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah semata-mata karena Allah. Contoh terbaik dua orang seperti itu adalah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS yang kisah kebersamaan mereka karena cintanya kepada Allah SWT diabadikan di dalam al-Qur’an, Surah Al-Kahfi, ayat 65–82. Secara ringkas kisah kebersamaan Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS dapat dijelaskan sebagai berikut Nabi Musa AS bertemu Nabi Khidir AS dan kemudian menjalin kebersamaan dengan mengikuti ke mana Nabi Khidir AS pergi. Dalam kebersamaan ini Nabi Musa AS ingin mengetahui ilmu haqiqat dari Nabi Khidir AS. Nabi Khidizir menyetujui maksud Nabi Musa AS tersebut dengan syarat Nabi Musa AS harus bersabar dengan tidak boleh menanyakan alasan mengapa Nabi Khidir AS melakukan sesuatu hingga Nabi Khidir AS sendiri berkenan menjelaskannya di saat yang menurutnya tepat. Sidang Jumah Rahimakumullah Nabi Musa AS menyatakan setuju atas persyaratan tersebut. Nabi Khidir AS menerima janji Nabi Musa AS itu walaupun sebetulnya dari awal Nabi Khidir AS sudah tahu bahwa Nabi Musa AS tidak akan bisa menepati janji-janjinya. Namun demikian Nabi Khidir AS perlu membuktikan hal itu dengan memberi kesempatan kepada Nabi Musa AS untuk mengikuti ke mana Nabi Khidir AS pergi guna mendapatkan pengetahuan tentang ilmu hakikat. Begitu proses pembelajaran mulai berlangsung, terbuki bahwa Nabi Musa AS tidak bisa menepati janjinya karena setiap kali Nabi Khidir AS melakukan sesuatu, Nabi Musa AS selalu meminta penjelasan segera dari Nabi Khidir AS mengapa perbuatan itu dilakukan. Sikap Nabi Musa AS yang seperti ini menurut Nabi Khidir AS menujukkan ketidak sabaran Nabi Musa AS dalam menunggu penjelasan sehingga merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah disetuji bersama. Hal seperti ini berlangsung hingga tiga kali yang berarti Nabi Musa AS melanggar janjinya hingga sejumlah itu. Jamaah Rahimakumullah Setelah Nabi Musa AS melakukan pelanggaran sebanyak tiga kali, Nabi Khidir AS memutuskan mengakhiri kebersamaanya dengan Nabi Musa AS. Namun sebelum mereka berpisah, Nabi Khidir AS dengan senang hati dan penuh keikhlasan memberikan penjelasan tentang hal-hal yang kemudian dipertanyakan alasannya selama kebersamaanya dengan Nabi Musa AS. Penjelasan itulah yang sebenarnya merupakan ilmu haqiqat yang akan disampaikan kepada Nabi Musa AS sesuai permintannya. Penjelasan tersebut disampaikan sekaligus untuk mengakhiri kebersamaannya dengan Nabi Musa AS karena Nabi Musa AS sendiri mengatakan apabila melanggar janji hingga tiga kali maka Nabi Khidir AS dapat mengakhiri kebersamaan itu. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam ayat 76 قَالَ إِن سَأَلْتُكَ عَن شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِن لَّدُنِّي عُذْرًا Artinya Dia Musa berkata Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup bersabar menerima alasan dariku. Penjelasan sebagaimana dikisahkan dalam Surah Al-Kahfi tentang tiga hal yang dilakukan Nabi Khidir AS selama kebersamaanya dengan Nabi Musa AS adalah sebagai berikut Pertama, perahu yang dilubangi Nabi Khidir AS adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut. Nabi Khidir AS merusak perahu tersebut dengan membuatnya cacat agar tidak dirampas oleh raja yang melakukan operasi perampasan terhadap setiap perahu yang kondisinya baik. Sang raja telah berada di belakang mereka. Dengan perahu yang keadaannya cacat sang raja tidak tertarik untuk merampas perahu tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam ayat 79. أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا Artinya Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku ingin membuat perahu itu cacat karena di belakang mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu yang tidak cacat. Kedua, seorang bocah laki-laki yang dibunuh Nabi Khidir AS adalah seorang anak yang kedepannya akan menjadi anak durhaka. Padahal kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan saleh. Dari pada kedua orang tua itu menuruti anaknya sehingga menjadi ikut tersesat dan kafir, maka dibunuhlah anak itu oleh Nabi Khidir AS, dengan maksud menyelamatkan kedua orang tuanya dari kesesatan dan kekafiran. Selain itu, Nabi Khidir AS juga berharap Allah SWT akan mengganti anak itu dengan anak saleh yang berbakti dan mencintai kedua orang tuanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam ayat 80-81. وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا. فَأَرَدْنَا أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا Artinya Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya kepada ibu bapaknya. Ketiga, dinding rumah yang hampir roboh itu adalah milik dua orang anak muda yang sudah yatim di kota itu. Di bawah dinding rumah itu terdapat harta benda simpanan bagi mereka berdua. Ayah mereka adalah orang saleh. Allah menghendaki agar harta simpanan itu bisa sampai kepada kedua anak itu hingga mereka dewasa dan dapat mengambil simpanan itu sebagai rahmat dari Allah SWT. Selanjutnya Nabi Khidir AS menjelaskan bahwa semua yang beliau lakukan itu bukanlah kemauannya sendiri melainkan perintah dari Allah SWT. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Kahfi, ayat 82 وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا Artinya Adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya. Sidang Jumat Rahimakumullah Pelajaran yang bisa kita petik dari kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS di atas adalah bahwa apa yang dilakukan Nabi Khidir AS, yakni 1 secara sengaja dan sepihak melubangi sebuah perahu yang bukan miliknya; 2 secara sengaja dan sepihak membunuh seorang bocah laki-laki padahal anak tersebut tidak melakukan pembunuhan terhadap orang lain, dan 3 secara sengaja dan sepihak memperbaiki dinding rumah orang lain yang hampir roboh sehingga tidak menarik bayaran dari pemiliknya, merupakan pelajaran yang diperlukan Nabi Musa AS untuk menambah wawasan keilmuannya mengingat ketiga hal di atas berdasarkan perintah langsung atau wahyu dari Allah SWT. Namun demikian, kita tahu bahwa kita semua bukanlah para nabi sebagaimana Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS yang memiliki sifat ma’shum, yakni terjaga oleh Allah SWT dari dosa dan kesalahan besar, tetapi kita semua adalah manusia biasa. Artinya pelajaran yang diberikan Nabi Khidir AS kepada Nabi Musa AS itu memang bukan untuk kita sebagai orang awam sehingga kita tidak diperbolehkan meniru Nabi Khidir AS begitu saja yang dalam kasus pertama, kedua dan ketiga bertentangan atau setidaknya tidak sejalan dengan ilmu syariat yang dipegang Nabi Musa AS. Maka bisa dimengerti Nabi Musa AS selalu mengajukan pertanyaan atas apa yang telah dilakukan Nabi Khidir AS meskipun sudah berjanji tidak akan melakukan hal seperti itu. Justru sikap Nabi Musa AS yang selalu berpegang teguh pada ilmu syari’at itulah yang sesungguhnya menjadi fokus perhatian kita sebagai orang awam. Bagi kita, Ilmu syari’at sesungguhnya sudah mengatur bahwa dalam hal-hal tertentu seperti keadaan darurat yang memaksa, kita diperbolehkan mencari alternatif atau jalan keluar yang dalam kondisi normal dilarang. Karena sifatnya darurat maka tidak boleh berlebihan dalam melaksanakannya. Berikutnya, kedua laki-laki itu, yakni Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS bersepakat untuk menjalin kebersamaan karena didorong niat bersama untuk beribadah kepada Allah. Nabi Musa AS ingin berguru mencari ilmu haqiqat dari Nabi Khidir AS, dan Nabi Khidir AS sendiri bersedia memberikan ilmunya kepada Nabi Musa AS dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama. Ketika kemudian Nabi Musa AS melanggar syarat-syarat itu, maka demi menghormati apa yang telah disepakati bersama mereka rela berpisah sebagaimana kesepakatan bersama. Perpisahan tersebut berlangsung dengan indah seindah saat awal bertemunya karena tidak ada perasaan dendam apalagi sikap saling membenci atau permusuhan diantara mereka. Nabi Musa AS menghormati ilmu hakikat yang dipegangi Nabi Khidir AS. Demikian pula sebaliknya Nabi Khidir menghormati ilmu syariat yang dipegang teguh Nabi Musa AS dan harus ditaati umatnya. Kedua ilmu itu benar karena sama-sama bersumber dari Allah SWT. Yang membedakan Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir AS adalah bahwa Nabi Musa AS adalah seorang nabi sekaligus rasul, sedangkan Nabi Khidir AS adalah seroang nabi saja di mana wahyu yang diterimanya hanya untuk dirinya sendiri dan tidak ada kewajiban menyampaikannya kepada orang lain. Kedua nabi itu berkumpul karena Allah, berpisah pun karena Allah. Mereka hanya berpisah secara raga tetapi hati mereka tetap menyatu dan saling mendoakan. Hadirin Rahimakumullah Demikianlah salah satu contoh tentang dua orang laki-laki yang oleh Rasulullah SAW dikatakan akan mendapatkan perlidungan dari Allah SWT pada hari kiamat. Pada hari itu tidak ada perlindungan kecuali perlindungan dari Allah SWT. Contoh lain yang serupa atau mirip di zaman kita sekarang tentu dapat kita gali sendiri di lingkungan kita masing-masing. Prinsipnya adalah dua orang berkumpul karena Allah dan berpisahpun karena Allah yang dilandasi cinta kepada-Nya dan bukan karena didorong oleh nafsu yang bersumber dari ajakan setan. Semoga uraian di atas menginspirasi kita semua dalam berkumpul dan berpisah dengan orang lain sehingga kita pun kelak termasuk orang-orang yang akan mendapat perlindungan dari Allah SWT di hari kiamat. Amin ya rabbal alamin. جعلنا الله واياكم من الفائزين الامنين، وادخلنا واياكم في زمرة عباده المؤمنين اعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمان الرحيم يايها الذين امنوا اتقواالله وقولوا قولا سديدا. بارك الله لي ولكم في القران العظيم ونفعني واياكم بما ف يه من الايات والذكرالحكيم، وتقبل مني ومنكم تلاوته انه هو الغفور الرحيم، وقل رب اغفر وارحم وانت خيرالراحمين. Khutbah II الحمد لله الحمد لله الذي اكرمنا بدين الحق المبين، وافضلنا بشريعة النبي الكريم، اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له، الملك الحق المبين، واشهد ان سيدنا ونبينا محمدا عبده و رسوله، سيدالانبياء والمرسلين، اللهم صل و سلم وبارك على نبينا محمد وعلى اله وصحبه والتابعين ومن تبعهم باحسان الى يوم الدين، اما بعد فيايهاالناس اتقواالله، وافعلواالخيرات واجتنبوا عن السيئات، واعلمواان الله ياْمركم بامربداْ فيه بنفسه، فقال عز من قائل إن الله وملائكته يصلون على النبى، ياأيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صلّ على سيدنا محمد و على آل سيدنا محمد. اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الاحياء منهم والاموات انك سميع قريب مجيب الدعوات، وغافر الذنوب انك على كل شيئ قدير. ربنا اغفر لنا ذنوبنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم، ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. والحمد لله رب العالمين. عبادالله، إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون. فاذكرواالله العظيم يذكركم واشكروه على نعمه يزدكم ولذكرالله اكبر. Ustadz Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama UNU Surakarta.
ETIKA NABI SAAT PERPISAHAN Bab ini memuat tiga hadits, yaitu Pertama Dari Ibnu Umar t. yang mempunyai beberapa sanad, diantaranya ۱٤ - . ÇóÑúÓóáóäöì ÇÈúäõ ÚõãóÑó İöì ÍóÇÌóÉò İóŞóÇáó ÊóÚóÇáú ÍóÊøì ÇóÄÏóÚóßó ßóãóÇæóÏóÚóäöì ÑóÓõÄáõ Çááøåö Õóáøóì Çááøåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó æóÇóÑúÓóáóäöìú İöì ÍóÇÌóÉò áóåõ İóŞóÇáó ,, ÇóÓúÊóÄÏöÚõ Çááøåó Ïöíúäóßó æóÇóãóÇäóÊóßó æóÎóæóÇÊöíúãó Úóãóáöß ,, Dari Quza’ah ia berkata ”Ibnu Umar t. mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu ia berkata ’Kemarilah aku akan mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana ucapan selamat tinggal Nabi r. kepadaku ketika beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Kemudian ia mengucapkan ”Aku menitipkan agamamu, umatmu, dan segala akhir perbuatanmu kepada Allah.“ Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud no 2600, Imam Hakim 2/97, Imam Ahmad juz 2/25, 38 dan 136, dan Imam Abu Asakir 14/290/2 dan 15469/1, diperoleh dari Abdulaziz bin Umar bin Abdulaziz yang mendengarnya dari Quza’ah. Perawi-perawinya tergolong tsiqah konsisten terhadap ajaran Islam dan kuat ingatannya tetapi ada yang diperselisihkan, yaitu Abdulaziz. Sebagian Ulama meriwayatkannya dengan sanad seperti itu, tapi sebagian lain ada pula yang memasukkan satu orang perawi antara Abdulaziz dan Quza’ah. Orang yang dimaksud tersebut adalah Ismail bin Jarir, namun sementara Ulama juga ada yang menyebutnya Yahya bin Ismail bin Jarir. Sedang Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebutkan beberapa riwayat yang berbeda- beda. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya At-Taqrib mengatakan ”Yang benar adalah Yahya bin Ismail.“ Saya berpendapat bahwa hadits itu adalah dha’if , tetapi kemudian menjadi kuat karena adanya sanad-sanad lain. Di dalam riwayat Ibnu Asakir terdapat matan sebagai berikut Sebagaimana Rasulullah r. mengucapkan selamat tinggal kepadaku, lalu ia menjabat tangan saja. Setelah itu ia mengucapkan ia mengucapkan seperti kalimat hadits di atas. Diriwayatkan dari Salim, bahwa Ibnu Umar selalu mengucapkan kepada orang yang hendak bepergian ”Izinkan aku mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana Nabi r mengucapkannya kepadaku, lalu ia berucap seperti kalimat pada hadits yang pertama.“ Hadits ini ditakhrij oleh Imam Tirmidzi 2/255, cet. Bulaq, Imam Ahmad 2/7, dan Abdul Ghani Al-Maqdisy di dalam juz 63 41/1, dari Sa’id bin Khutsaim dari Hanzalah yang dikutip dari Salim. Imam Tirmidzi berkomentar ”Hadits ini statusnya adalah hasan shahih gharib ada di antara ketiga status tersebut, yang dimaksud adalah yang diriwayatkan oleh Salim.“ Saya berpendapat ”hadits ini sesuai dengan syarat Muslim, hanya saja sanad yang dari Sa’id masih dipertentangkan. Oleh karena itu Imam Hakim meriwayatkannya 1/442 dan 2/97 dari Ishak bin Sulaiman dan Walid bin Muslim yang dikutip dari Handzalah bin Abu Sofyan diperoleh dari Al-Qasim bin Muhammad yang mengisahkan ”Saya berada di samping Ibnu Umar. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan berkata ”Saya hendak pergi.” Lalu Ibnu Umar berkata “Tunggulah, aku akan mengucapkan selamat jalan kepadamu Kemudian Al-Qasim bin Muhammad menyebutkan kalimat seperti hadits pertama.” Imam Hakim berkomentar “Hadits ini statusnya shahih menurut syarat Bukhari-Muslim.” Penialian ini disetujui oleh Adz-Dzahabi. Kemungkinan Imam Tirmidzi menganggap gharib Hadits yang periwayatannya terdapat perawi yang menyendiri, baik di dalam keberadaan sifat maupun keadannya hadits yang diriwayatkan melalui jalur Salim ini tsiqah, karena dua orang perawi tsiqah, yaitu Ishak n Sulaiman dan Al-Walid bin Muslim, yang berbeda dengan Ibnu Khatsaim, sebab Ibnu Khatsaim meriwayatkannya dari Handzalah dari Salim, sedangkan kedua perawi tsiqah tersebut mengatakan dari Handzalah yang diperoleh dari Al-Qasim bin Muhammad, dari Salim. Dan inilah nampaknya yang lebih shahih. Abu Ya’la mentakhrij hadits ini di dalam musnad-nya 2/270, dari jalur Al-Walid bin Muslim saja. Dari Mujahid, yang menceritakan “Saya dan seorang laki-laki pergi ke Irak. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan Abdullah Ibnu Umar. Tatkala akan berpisah ia berkata ”Aku tidak mempunyai sesuatu yang akan aku nasihatkan kepada kalian. Tetapi aku mendengar Rasulullah r. bersabda ”Jika ia musafir menitipkan sesuatu kepada Allah, maka mudah-mudahan Allah berkenan menjaganya. Dan saya menitipkan agamamu, amanat dan akibat perbuatan kalian kepada Allah I.“ Hadits dengan riwayat ini disampaikan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya 2376 dengan sanad yang shahih. Dari Nafi’ dikutip dari Mujahid yang menuturkan ”Apabila Rasulullah r. menginggalkan seseorang, maka beliau meraih tangannya. Dan beliau tidak akan melepaskan genggamannya kecuali orang itu sendiri yang melepaskannya, dan beliau berkata kemudian perawi menyebutkan ucapan selamat tinggal seperti hadits yang pertama.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 2/255, cet. Balaq yang menilainya gharib. Saya berpendapat, bahwa yang dimaksudkan oleh penilaian Imam Tirmidzi itu adalah dha’if dari segi jalur sanad ini. Hal itu bisa demikian karena hadits itu diriwayatkan oleh Ibrahim bin Abdurrahman bin Zaid bin Umayyah dari Nafi’. Padahal Ibrahim ini tidak dikenal majhul. Tetapi Ibrahim tidak meriwayatkan hadits ini seorang diri, namun ada perawi lain yang juga meriwayatkannya, yaitu Ibnu Mahah 2/943 nomor 2826, yang diperoleh dari Ibnu Abi Laila dari Nafi’. Akan tetapi Ibnu Abi Laila adalah orang yang kurang baik hafalannya. Nama sebenarnya, Muhammad bin Abdurrahman. Ia tidak menyebutkan ceita tentang berjabat tangan. Hadits kedua dari Abdullah Al-Khathami yang menceritakan ۱٥ -. ÇóáÍóÏöíúËõ ÇúáËøóÇäöìú Úóäú ÚóÈúÏöÇááøåö ÇúáÎóÊöãöìøö ŞóÇáó ,, ßóÇäó ÇáäøóÈöìøó Õóáøì Çááøåõ Úóáóíúåö æó ÇáÓóáøóãó ÇöĞóÇÇóÑóÇÏó Çóäú íóÓúÊóÄÏöÚó ÇáúÌóíúÔó ŞóÇáó İóĞóßóÑóåõ. “Adalah Rasulullah r. apabila hendak meninggalkan tentaranya, bersabda kemudian rawi menyebutkan kalimat yang diucapkan oleh Nabi r. seperti pada hadits pertama.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Sina di dalam Amalul-Yaum wal-Lailah nomor 498 dengan sanad yang shahih menurut Muslim. Hadits ketiga dari Abu Hurairah yang memberitakan Çóäú ÇáäøóÈöìøó Õøáøì Çááøåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÇöĞóÇÇóÄÏóÚó ÇóÍóÏóÇ ŞóÇáó İóĞóãóÑóåõ . “Rasulullah r jika meninggalkan seseorang beliau bersabda sebagaimana kalimat pada hadits pertama.” Hadits dengan sanad ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad 2/358; dari Ibnu Labai’ah yang mengutip dari Al-Hasan bin Tsauban dari masa Ibnu Wirdan yang diperolehnya dari Abu Hurairah. Saya berpendapat, bahwa seluruh perawinya adalah tsiqah. Hanya saja Ibnu Labai’ah agak buruk hafalannya. Matan yang dipakainya pun berbeda dengan yang dipakai oleh Al-Laits bin Sa’ad dan Sa’id bin Abi Ayyub yang diperolehnya dari Hasan bin Tsauban yang menuturkan “Aku akan menitipkan kepada Allah yang tidak pernah menyia-nyiakan barang titipan-Nya.” 1 Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ini lebih shahih dan sanadnya jayyid shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad 403/1. Saya juga melihat, bahwa Ibnu Labai’ah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang sama dengan riwayat yang ditakhrij oleh Ibnu Sina nomor 501 dan Ibnu Majah 2/943, nomor 2825. Sedang saya sendiri merasa yakin kesalahannya ada pada redaksi yang pertama. Faedah-faedah Hadits Dari hadits yang shahih ini dapat diambil beberapa faedah 1. Disyariatkannya ucapan selamat tinggal dengan kalimat yang telah berlaku, yaitu ÃÓÊæÏÚ Çááøå Ïíäß æÇãÇäÊß æÎæÇÊíã Úãáß Atau ÃÓÊæÏÚßã Çááøå ÇáĞì áÇ ÊÖíÚ æÏÇäÚå 2. Bersalaman dengan satu tangan. Hal ini disebutkan pada banyak hadits. Dan jika ditinjau dari segi etimologi, maka kata al-mushafahah artinya al-akhdzu bi-yudi memegang tangan atau memegangnya. Di dalam Lisanul Arab disebutkan Kata al-mushafahah berarti menggenggam tangan. Begitu juga dengan kata al-tashafuh. Ar-rajul yushafihur-rajul, artinya seseorang menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain dan keduanya saling menempelkan telapak tangan mereka serta saling berhadapan. Arti yang sama dipakai pada hadits mushafahah ketika bertemu. Kata ini merupakan tindakan menempelkan telapak tangan seseorang dengan telapak tangan orang lain dengan berhadap-hadapan. Menurut saya ada beberapa hadits yang senada dengan hadits tersebut, seperti hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Hudzaifah ۱٦ -. Çöäøó ÇáúãÁúæãöäó ÇöĞóÇáóŞöìó ÇáúãõÁúæ ãöäó İóÓóáøóãó Úóáóíúåö æğÇóÎóÖø ÈöíóÏöå İóÕóÇİóÍóåó ÊóäóÇËóÑóÊú ÎóØóÇíóÇ åõãóÇ ßóãóÇ ÊóäóÇ ËóÑóÊú æóÑóŞõ ÇáÔøóÌóÑö “Jika seorang mukmin bertemu dengan orang mukmin lainnya, lalu mengucapkan salam dan berjabatan tangan, maka semua kesalahan kedua orang itu akan rontok, seperti daun-daun yang berguguran.” Sementara itu Al-Mundziri 3/270 berkomentar “Imam Thabrani meriwayatkan hadits ini di dalam Al-Ausath’, dan sepengetahuan saya perawi-perawinya tidak ada yang jahr cacat. Saya berpendapat, hadits ini mempunyai beberapa syahid hadits penguat yang dapat meningkatkan statusnya menjadi shahih. Di antaranya hadist yang diriwayatkan oleh Anas di dalam kitabnya Al-Mukhtarah nomor 240/1-2. Al-Mundziri menaikkannya kepada Imam Ahmad dan Imam lainnya. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang disunnahkan di dalam berjabat tangan adalah dengan satu tangan. Apa yang dilakukan oleh bebetapa Syaikh, yakni berjabat tangan dengan menggunakan dua tangan adalah menyelisihi sunnah. Hal ini perlu kita ketahui secara detail. 3. Berjabatan tangan juga dianjurkan ketika akan berpisah. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi r. “Merupakan kesempurnaan penghormatan adalah berjabatan tangan.” Hadits ini dilihat dari segi sanadnya, bagus sekali. Sebenarnya saya bermaksud menampilkan judul tersendiri tentang pembahasan ini dengan disertai penjelasan mengenai sanad-sanadnya. Akan tetapi setelah saya teliti ternyata sanadnya dha’if dan tidak patut dibuat hujjah. Oleh karena itu saya hanya menyebutkannya di dalam As-Silsiasul-Ukhra Rangkaian hadits yang lain 1288. Adapun mengenai pengambilan dalil pembuktian kebenaran tentang disyariatkannya salam ketika berpisah adalah sabda Nabi r. “Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, maka ucapkanlah salam. Dan jika ia keluar, maka juga ucapkanlah salam. Salam yang pertama adalah lebih utama dari salam yang kedua.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan lainnya dengan sanad hasan. Melihat hadits ini maka pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa berjabatan tangan ketika berpisah adalah bid’ah, sama sekali tidak mempunyai dalil. Memang, orang-orang yang berpendapat mengenai adanya hadits-hadits yang mengenai jabat tangan ketika bertemu adalah lebih banyak dan lebih kuat daripada ketika berpisah, tetapi orang yang tajam pemahamannya akan menyimpulkan bahwa intensitas disyari’atkannya berjabatan tangan ketika bertemu dengan ketika berpisah tidak sama. Misalnya berjabatan yanga pertama adalah sunnah, sedangkan yang kedua adalah anjuran mustahabbah. Sedang bila jabatan tangan yang kedua dikatakan bid’ah, sama sekali tidak mempunyai dasar. Adapun berjabatan tangan selepas shalat adalah bid’ah. Hal ini tidak diragukan lagi, kecuali antara dua orang yang tidak pernah bertemu sebelumnya, maka dalam kondisi ini berjabatan tangan memang **** ________________________________ 1 Hal ini telah ditulis oleh Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam. Insya Allah saya akan memaparkan pendapatnya pada risalah saya yang keempat, dari Tanfidul Ishabah.
Tidak terasa sudah sebulan kita menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Dan saatnya kita berpisah dengan bulan yang penuh barokah, bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah, serta bulan di mana banyak yang dibebaskan dari siksa neraka. Pada pembahasan kali ini, kami mengangkat sebuah pelajaran yang cukup berharga yang kami olah dari kitab Latho-if Al Ma’arif karangan Ibnu Rajab Al Hambali dengan judul “Wadha’ Ramadhan” Perpisahan dengan Bulan Ramadhan, juga terdapat beberapa tambahan pembahasan dari kitab lainnya. Semoga kalimat-kalimat yang secuil ini bermanfaat bagi kita semua. Sebab Ampunan Dosa di Bulan Ramadhan Saudaraku, jika kita betul-betul merenungkan, Allah begitu sayang kepada orang-orang yang gemar melakukan ketaatan di bulan Ramadhan. Cobalah kita perhatikan dengan seksama, betapa banyak amalan yang di dalamnya terdapat pengampunan dosa. Maka sungguh sangat merugi jika seseorang meninggalkan amalan-amalan tersebut. Dia sungguh telah luput dari ampunan Allah yang begitu luas. Cobalah kita lihat pada amalan puasa yang telah kita jalani selama sebulan penuh, di dalamnya terdapat ampunan dosa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.”[1] Pengampunan dosa di sini bisa diperoleh jika seseorang menjaga diri dari batasan-batasan Allah dan hal-hal yang semestinya dijaga.[2] Begitu pula pada amalan shalat tarawih, di dalamnya juga terdapat pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan shalat tarawih karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[3] Barangsiapa yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan amalan shalat, juga akan mendapatkan pengampunan dosa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[4] Amalan-amalan tadi akan menghapuskan dosa dengan syarat apabila seseorang melakukan amalan tersebut karena 1 iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan 2 mencari pahala di sisi Allah, bukan melakukannya karena alasan riya’ atau alasan lainnya.[5] Adapun pengampunan dosa di sini dimaksudkan untuk dosa-dosa kecil sebagaimana pendapat mayoritas ulama.[6] Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ “Antara shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.”[7] Yang dimaksud dengan pengampunan dosa dalam hadits riwayat Muslim ini, ada dua penafsiran Pertama, amalan wajib seperti puasa Ramadhan, -pen bisa memnghapus dosa apabila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Apabila seseorang tidak menjauhi dosa-dosa besar, maka amalan-amalan tersebut tidak dapat mengampuni dosa baik dosa kecil maupun dosa besar. Kedua, amalan wajib dapat mengampuni dosa namun hanya dosa kecil saja, baik dia menjauhi dosa besar ataupun tidak. Dan amalan wajib tersebut sama sekali tidak akan menghapuskan dosa besar.[8] Pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama bahwa dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar bisa terhapus hanya melalui taubatan nashuhah taubat yang sesungguhnya.[9] Adapun pengampunan dosa pada malam lailatul qadar adalah apabila seseorang mendapatkan malam tersebut, sedangkan pengampunan dosa pada puasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan shalat tarawih adalah apabila bulan Ramadhan telah sempurna 29 atau 30 hari. Dengan sempurnanya bulan Ramadhan, seseorang akan mendapatkan pengampunan dosa yang telah lalu dari amalan puasa dan amalan shalat tarawih yang ia laksanakan.[10] Selain melalui amalan puasa, shalat malam di bulan Ramadhan dan shalat di malam lailatul qadar, juga terdapat amalan untuk mendapatkan ampunan Allah yaitu melalui istighfar. Memohon ampun seperti ini adalah di antara bentuk do’a. Dan do’a orang yang berpuasa adalah do’a yang mustajab terkabulkan, apalagi ketika berbuka.[11] Begitu pula pengeluaran zakat fithri di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fithri akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia. Ulama-ulama terdahulu mengatakan bahwa zakat fithri adalah bagaikan sujud sahwi sujud yang dilakukan ketika lupa, -pen dalam shalat.[12] Jadi dapat kita saksikan, begitu banyak amalan di bulan Ramadhan yang terdapat pengampunan dosa, bahkan itu ada sampai penutup bulan Ramadhan. Sampai-sampai Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.”[13] Seharusnya Keadaan Seseorang di Hari Raya Idul Fithri Seperti Ini Setelah kita mengetahui beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa menghapuskan dosa-dosa, maka seseorang di hari raya Idul Fithri, ketika dia kembali berbuka tidak berpuasa lagi seharusnya dalam keadaan bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya bersih dari dosa. Namun hal ini dengan syarat, seseorang haruslah bertaubat dari dosa besar yang pernah ia terjerumus di dalamnya, dia bertaubat dengan penuh rasa penyesalan. Lihatlah perkataan Az Zuhri berikut, “Ketika hari raya Idul Fithri, banyak manusia yang akan keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat ied, Allah pun akan menyaksikan mereka. Allah pun akan mengatakan, “Wahai hambaku, puasa kalian adalah untuk-Ku, shalat-shalat kalian di bulan Ramadhan adalah untuk-Ku, kembalilah kalian dalam keadaan mendapatkan ampunan-Ku.” Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan shalat ied di tanah lapang, “Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.”[14] Selepas Ramadhan, Para Salaf Khawatir Amalannya Tidak Diterima Para ulama salaf terdahulu begitu semangat untuk menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam firman Allah, وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” Qs. Al Mu’minun 60 Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Mereka para salaf begitu berharap agar amalan-amalan mereka diterima daripada banyak beramal. Bukankah engkau mendengar firman Allah Ta’ala, إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ “Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan dari orang-orang yang bertakwa.” Qs. Al Ma-idah 27” Dari Fudholah bin Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ “Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan dari orang-orang yang bertakwa.” Qs. Al Ma-idah 27” Ibnu Diinar mengatakan, “Tidak diterimanya amalan lebih ku khawatirkan daripada banyak beramal.” Abdul Aziz bin Abi Rowwad berkata, “Saya menemukan para salaf begitu semangat untuk melakukan amalan sholih. Apabila telah melakukannya, mereka merasa khawatir apakah amalan mereka diterima ataukah tidak.” Oleh karena itu sebagian ulama sampai-sampai mengatakan, “Para salaf biasa memohon kepada Allah selama enam bulan agar dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan sisanya, mereka memohon kepada Allah agar amalan mereka diterima.” Lihat pula perkataan Umar bin Abdul Aziz berikut tatkala beliau berkhutbah pada hari raya Idul Fithri, “Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya. Kalian pun keluar dan memohon pada Allah agar amalan kalian diterima. Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fithri. Dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan.” Mereka malah mengatakan, “Kalian benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak.” Itulah kekhawatiran para salaf. Mereka begitu khawatir kalau-kalau amalannya tidak diterima. Namun berbeda dengan kita yang amalannya begitu sedikit dan sangat jauh dari amalan para salaf. Kita begitu “pede” dan yakin dengan diterimanya amalan kita. Sungguh, teramatlah jauh kita dengan mereka. Bagaimana Mungkin Mendapatkan Pengampunan di Bulan Ramadhan? Setelah kita melihat bahwa di bulan Ramadhan ini penuh dengan pengampunan dosa dari Allah Ta’ala, namun banyak yang menyangka bahwa dirinya kembali suci seperti bayi yang baru lahir selepas bulan Ramadhan, padahal kesehariannya di bulan Ramadhan tidak lepas dari melakukan dosa-dosa besar. Sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa dosa-dosa kecil bisa terhapus dengan amalan puasa, shalat malam dan menghidupkan malam lailatul qadar. Namun ingatlah bahwa pengampunan tersebut bisa diperoleh bila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Lalu bagaimanakah dengan kebiasaan sebagian kaum muslimin yang berpuasa namun menganggap remeh shalat lima waktu, bahkan seringkali meninggalkannya ketika dia berpuasa padahal meninggalkannya termasuk dosa besar?! Sebagian kaum muslimin begitu semangat memperhatikan amalan puasa, namun begitu lalai dari amalan shalat lima waktu. Padahal dengan sangat nyata dapat kami katakan bahwa orang yang berpuasa namun enggan menunaikan shalat, puasanya tidaklah bernilai apa-apa. Bahkan puasanya menjadi tidak sah disebabkan meninggalkan shalat lima waktu. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan shalat telah melakukan dosa kekafiran dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka mereka itu adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” Qs. At Taubah 11 Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ “Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.”[15] Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ “Perjanjian antara kami dan mereka orang kafir adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” [16]“[17] Namun ini nyata terjadi pada sebagian orang yang menunaikan puasa. Mereka begitu semangat menunaikan puasa Ramadhan, namun begitu lalai dari rukun Islam yang lebih penting yang merupakan syarat sah keislaman seseorang yaitu menunaikan shalat lima waktu. Hanya Allah lah yang memberi taufik. Lalu seperti inikah Idul Fithri dikatakan sebagai hari kemenangan sedangkan hak Allah tidak dipedulikan? Seperti inikah Idul Fithri disebut hari yang suci sedangkan ketika berpuasa dikotori dengan durhaka kepada-Nya? Kepada Allah-lah tempat kami mengadu, semoga Allah senantiasa memberi taufik. Ingatlah, meninggalkan shalat lima waktu bukanlah dosa biasa, namun dosa yang teramat bahaya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah– mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” [18] Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah– berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.”[19] Itulah kenyataan yang dialami oleh orang yang berpuasa. Kadang puasa yang dilakukan tidak mendapatkan ganjaran apa-apa atau ganjaran yang kurang dikarenakan ketika puasa malah diisi dengan berbuat maksiat kepada Allah, bahkan diisi dengan melakukan dosa besar yaitu meninggalkan shalat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”[20] Jika demikian, di manakah hari kemenangan yang selalu dibesar-besarkan ketika Idul Fithri? Di manakah hari yang dikatakan telah suci lahir dan batin sedangkan hak Allah diinjak-injak? Lalu apa gunanya minta maaf kepada sesama begitu digembar-gemborkan di hari ied sedangkan permintaan maaf kepada Rabb atas dosa yang dilakukan disepelekan? Takbir di Penghujung Ramadhan Karena begitu banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, kita diperintahkan oleh Allah di akhir bulan untuk bertakbir kepada-Nya dalam rangka bersyukur kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” Qs. Al Baqarah 185 Yang dimaksud dengan takbir di sini adalah bacaan “Allahu Akbar”. Mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah dorongan untuk bertakbir di akhir Ramadhan. Sedangkan kapan waktu takbir tersebut, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama, takbir tersebut adalah ketika malam idul fithri. Pendapat kedua, takbir tersebut adalah ketika melihat hilal Syawal hingga berakhirnya khutbah Idul Fithri. Pendapat ketiga, takbir tersebut dimulai ketika imam keluar untuk melaksanakan shalat ied. Pendapat keempat, takbir pada hari Idul Fithri. Pendapat kelima yang merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i, takbir ketika keluar dari rumah menuju tanah lapang hingga imam keluar untuk shalat ied. Pendapat keenam yang merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, takbir tersebut adalah ketika Idul Adha dan ketika Idul Fithri tidak perlu bertakbir.[21] Syukur di sini dilakukan untuk mensyukuri nikmat Allah berupa taufik untuk melakukan puasa, kemudahan untuk melakukannya, mendapat pembebasan dari siksa neraka dan ampunan yang diperoleh ketika melakukannya. Atas nikmat inilah, seseorang diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah, bersyukur kepada-Nya dan bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya takwa. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa sebenar-benarnya takwa adalah mentaati Allah tanpa bermaksiat kepada-Nya, mengingat Allah tanpa lalai dari-Nya dan bersyukur atas nikmat-nikmat Allah, tanpa kufur darinya.[22] Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd. Di penghujung bulan Ramadhan ini, hanyalah ampunan dan pembebasan dari siksa neraka yang kami harap-harap dari Allah yang Maha Pengampun. Kami pun berharap semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan, walaupun kami rasa amalan kami begitu sedikit dan begitu banyak kekurangan di dalamnya. Taqobalallahu minna wa minkum Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian. Semoga Allah menjadi kita insan yang istiqomah dalam menjalankan ibadah selepas bulan Ramadhan. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. Wa shallallahu wa salaamu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi ajma’in. *** Diselesaikan menjelang Shubuh, Ahad, 1 Syawal 1430 H, di Ori, Pelauw – Maluku Tengah Penulis Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Baca Juga Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin Saat Idul Fitri, Apakah Benar Tidak Boleh Diucapkan? Dua Kebahagiaan Ketika Hari Raya Idul Fithri Footnote [1] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760. [2] Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 372, Daar Ibnu Katsir [Tahqiq Yasin Muhammad As Sawaas] [3] HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759 [4] HR. Bukhari no. 1901. [5] Lihat Fathul Bari, 6/290, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah [6] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 372 dan Fathul Baari, 6/290 [7] HR. Muslim no. 233. [8] Latho-if Al Ma’arif, hal. 372 [9] -Idem- [10] Latho-if Al Ma’arif, hal. 373 [11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 378 [12] Latho-if Al Ma’arif, hal. 383 [13] Latho-if Al Ma’arif, hal. 378 [14] Latho-if Al Ma’arif, hal. 373-374 [15] HR. Muslim no. 82 [16] HR. Ahmad, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani [17] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu Utsaimin, 17/62, Asy Syamilah [18] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir. [19] Al Kaba’ir Ma’a Syarhi Li Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Al Imam Adz Dzahabiy, hal. 25, Darul Kutub Al Ilmiyyah. [20] HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi –yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya [21] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 1/239, Mawqi’ At Tafasir, Asy Syamilah [22] Latho-if Al Ma’arif, hal. 381
hadits tentang perpisahan santri